5 Aug 2014

TENTANG AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR Bagian Terakhir

SYARAT-SYARAT BERAMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

Ada pun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar adalah :

Pertama, mengerti betul mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.

Kedua, tujuannya tiada lain hanyalah karena Allah S.W.T dan untuk menegakkan agama dan kalimat-Nya, bukan karena ingin dipuji dan mencapai popularitas. Sebab Allah S.W.T akan membantu dan menolongnya dapat menghilangkan kemunkaran jika ia benar-benar jujur dan ikhlas. Allah S.W.T berfirman, “Jika kalian menolong [agama] Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukanmu”. (QS. Muhammad [47]: 7). Dalam ayat lain Allah S.W.T berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. An-Nahl [16]: 128). Jika ia melakukannya dengan tulus ikhlas dan penuh kesungguhan, maka ia akan meraih kemenangan. Sedangkan jika tidak, maka yang diperolehnya hanyalah kerugian, kehinaan dan tetapnya kemunkaran. Bahkan akan semakin bertambah, kemunafikan menjadi subur, kemaksiatan akan semakin meningkat, dan setan dari kalangan manusia dan jin akan saling bahu-membahu untuk menyalahi perintah Allah S.W.T dan melanggar aturan-aturan Nya.

Ketiga, tugas suci ini harus dilakukan dengan sikap yang lemah lembut, bersahabat, dan penuh bijaksana, bukan dengan jalan KEKERASAN DAN BRUTAL. Allah S.W.T berfirman, “Maka disebabkan oleh rahmat Allah-lah kamu (Muhammad) berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159). Ia juga berfirman, “Maka berbicaralah kamu (Musa dan Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia sadar atau merasa takut.” (QS. Thaha [20]: 44). Nabi S.A.W bersabda, “Seseorang belum layak melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali setelah memiliki tiga perkara : mengetahui apa yang diperintah dan dilarangnya, bersikap lemah-lembut dalam hal yang diperintahkannya, dan bersikap lemah-lembut dalam hal yang dilarangnya.” (HR. Usamah bin Zaid).

Keempat, ia harus sabar, santun, siap berkorban, rendah hati, luput dari hawa nafsu, dan kuat hati. Ia harus sadar bahwa dalam hal ini ia ibarat seorang dokter yang mengobati pasiennya, seorang bijak yang akan menangani orang sakit jiwa, atau seorang imam yang akan menuntun jamaahnya. Allah S.W.T berfirman, “Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin diantara mereka yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar.” (QS. As-Sajadah [32]: 24). Yakni bersabar menanggung segala cobaan dan hinaan dari kaumnya demi tegaknya agama Allah S.W.T, sehingga ia dijadikannya sebagai pemimpin dan panutan bagi kaum Muslim. Allah S.W.T juga berfirman, “Dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik dan cegahlah [mereka] dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah atas terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.” (QS. Luqman [31]: 17).


Kelima, ia sendiri harus mengamalkan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya supaya ia tidak dianggap ingin menguasai mereka sehingga ia malah menjadi orang yang hina dan tercela di sisi-Nya. Allah S.W.T berfirman, “Mengapa kalian suruh orang lain [mengerjakan] kebaikan, sedang kalian melupakan diri sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berfikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44). Nabi S.A.W bersabda, “Pada malam Isra’ aku melihat kaum laki-laki yang mulutnya digunting. Aku pun bertanya, ‘Siapa mereka wahai Jibril?’. Jibril menjawab, ‘Mereka adalah para tukang khotbah dari umatmu yang memerintah manusia kepada kebaikan, tapi melupakan diri sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur’an.’ Qatadah berkata, “Dalam Taurat disebutkan, “Manusia menyuruh orang lain untuk mengingat-Ku, tapi ia sendiri melupakan-Ku; ia menyeru orang lain untuk menyembah-Ku, tapi ia sendiri lari dari-Ku. Sungguh ia telah sesat.”

Meski demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa orang fasiq juga wajib melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana diwajibkan kepada orang yang adil. Sebab menurut mereka, ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbicara seputar kewajiban ini bersifat umum, tidak membedakan antara orang yang adil dan orang yang fasiq. Sebagian ulama salaf menafsirkan ayat, “Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 207) dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Nabi S.A.W bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” Dalam hadits lain dikatakan, “Orang mati syahid yang paling mulia di hari kiamat adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa yang zalim, lalu ia dibunuh karenanya “.

Sungguh tidak ada seorang pun yang bersih dari dosa, baik lahir maupun bathin. Jika amar ma’ruf nahi munkar hanya diwajibkan bagi orang-orang taat, maka proses amar ma’ruf nahi munkar akan sulit direalisasikan. Demikian pendapat mereka.

Yang dimaksud dengan ma’ruf adalah segala sesuatu yang sejalan dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan akal sehat (logika). Sedangkan yang dimaksud dengan munkar adalah segala hal yang bertentangan dengan semua itu. Kedua hal ini terbagi kepada dua macam : yang jelas dan yang samar.

Ma’ruf dan munkar yang jelas adalah yang dapat diketahui dengan mudah oleh semua orang, baik oleh orang awam maupun ulama. Contoh, sesuatu ma’ruf adalah seperti sholat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan contoh sesuatu yang munkar adalah seperti zina, minum khamar, mencuri, merampok, membunuh, dan sebagainya. Semua pihak, baik orang awam maupun ulama, wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk bagian ini.

Adapun ma’ruf yang samar hanya dapat diketahui oleh kalangan tertentu (seperti ulama), misalnya seperti perkara-perkara yang boleh dan tidak boleh bagi Allah S.W.T. Dalam hal ini, hanya orang khawwash saja yang berkewajiban mengingkarinya.

Sedangkan untuk perkara-perkara yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para fuqaha dan masuk dalam ruang lingkup ijtihad, misalnya tentang nikah tanpa wali yang menurut madzhab Abu Hanifah adalah sah, maka orang yang mengikuti madzhab Ahmad dan Syafi’I tidak boleh mengingkarinya. Sebab Imam Ahmad sendiri –sebagaimana dinukil oleh Al-Maruzi—pernah berkata, “Tidak seharusnya seorang faqih memaksa orang lain untuk mengikuti madzhabnya”. Dengan demikian, maka mencegah kemunkaran hanya diarahkan kepada perkara-perkara yang keluar dari ijma’ ulama, bukan pada perkara-perkara yang masih diperselisihkan.

Namun ada riwayat lain dari Imam Ahmad yang mengindikasikan bolehnya mengingkari perkara yang masih diperselisihkan hukumnya. Riwayat ini dinukil oleh al-Maimuni tentang seorang lelaki yang melewati sekelompok orang yang sedang bermain catur. Lalu orang tersebut melarang dan menasehati mereka untuk tidak berbuat demikian. Padahal sebagaimana diketahui bahwa permainan ini dibolehkan oleh ulama Syafi’iyah.

Demikian artikel yang sumbernya 100% dari kitab yang sudah saya sebutkan pada artikel sebelumnya. Semoga dapat menjadikan pemahaman bagi kita semua sebagai khasanah ilmu, serta sebagai referensi untuk memahami makna amar ma’ruf nahi munkar, serta jihad, berdasarkan hasil karya dari seorang Syekh, yang sangat-sangat luar biasa peranannya dalam perihal agama serta sudah diakui oleh umat muslim di seluruh dunia. Agar tidak dangkal dalam memahami perihal tersebut.

Akhir kata, mengutip ucapan dari seorang habaib : “Agar sebaiknya segala perbedaan yang terjadi di kalangan umat, disikapi dengan RAHMAT”.

Jangan lupa senantiasa berdo’a kepada Allah S.W.T untuk membimbing kita semua ke jalan yang lurus, serta perbanyaklah dzikir kepada Allah S.W.T, juga perbanyak bershalawat kepada Nabi junjungan kita, Muhammad S.A.W.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…


Sumber :

Buku Kitab Terjemahan : Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq ‘Azza wa Jalla (Bekal yang cukup menuju Allah ‘Azza wa Jalla). Karya : Syekh ‘Abdul Qodir al-Jaelani. Penerbit : PT. Sahara Intisains.

No comments:

Post a Comment