SYARAT-SYARAT BERAMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Ada
pun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjalankan
kewajiban amar ma’ruf nahi munkar adalah :
Pertama,
mengerti betul mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.
Kedua,
tujuannya tiada lain hanyalah karena Allah S.W.T dan untuk menegakkan agama dan
kalimat-Nya, bukan karena ingin dipuji dan mencapai popularitas. Sebab Allah
S.W.T akan membantu dan menolongnya dapat menghilangkan kemunkaran jika ia
benar-benar jujur dan ikhlas. Allah S.W.T berfirman, “Jika kalian menolong
[agama] Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukanmu”.
(QS. Muhammad [47]: 7). Dalam ayat lain Allah S.W.T berfirman, “Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan”
(QS. An-Nahl [16]: 128). Jika ia melakukannya dengan tulus ikhlas dan penuh
kesungguhan, maka ia akan meraih kemenangan. Sedangkan jika tidak, maka yang
diperolehnya hanyalah kerugian, kehinaan dan tetapnya kemunkaran. Bahkan akan
semakin bertambah, kemunafikan menjadi subur, kemaksiatan akan semakin
meningkat, dan setan dari kalangan manusia dan jin akan saling bahu-membahu
untuk menyalahi perintah Allah S.W.T dan melanggar aturan-aturan Nya.
Ketiga,
tugas suci ini harus dilakukan dengan sikap yang lemah lembut, bersahabat, dan
penuh bijaksana, bukan dengan jalan KEKERASAN DAN BRUTAL. Allah
S.W.T berfirman, “Maka disebabkan oleh rahmat Allah-lah kamu (Muhammad)
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati
kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali ‘Imran
[3]: 159). Ia juga berfirman, “Maka berbicaralah kamu (Musa dan Harun)
kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia sadar
atau merasa takut.” (QS. Thaha [20]: 44). Nabi S.A.W bersabda, “Seseorang
belum layak melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali setelah memiliki tiga
perkara : mengetahui apa yang diperintah dan dilarangnya, bersikap lemah-lembut
dalam hal yang diperintahkannya, dan bersikap lemah-lembut dalam hal yang
dilarangnya.” (HR. Usamah bin Zaid).
Keempat,
ia harus sabar, santun, siap berkorban, rendah hati, luput dari hawa nafsu, dan
kuat hati. Ia harus sadar bahwa dalam hal ini ia ibarat seorang dokter yang
mengobati pasiennya, seorang bijak yang akan menangani orang sakit jiwa, atau
seorang imam yang akan menuntun jamaahnya. Allah S.W.T berfirman, “Dan Kami
jadikan pemimpin-pemimpin diantara mereka yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka bersabar.” (QS. As-Sajadah [32]: 24). Yakni bersabar
menanggung segala cobaan dan hinaan dari kaumnya demi tegaknya agama Allah
S.W.T, sehingga ia dijadikannya sebagai pemimpin dan panutan bagi kaum Muslim.
Allah S.W.T juga berfirman, “Dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik
dan cegahlah [mereka] dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah atas terhadap
apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut
diutamakan.” (QS. Luqman [31]: 17).
Kelima,
ia sendiri harus mengamalkan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa
yang dilarangnya supaya ia tidak dianggap ingin menguasai mereka sehingga ia
malah menjadi orang yang hina dan tercela di sisi-Nya. Allah S.W.T berfirman, “Mengapa
kalian suruh orang lain [mengerjakan] kebaikan, sedang kalian melupakan diri
sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian
berfikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44). Nabi S.A.W bersabda, “Pada malam
Isra’ aku melihat kaum laki-laki yang mulutnya digunting. Aku pun bertanya,
‘Siapa mereka wahai Jibril?’. Jibril menjawab, ‘Mereka adalah para
tukang khotbah dari umatmu yang memerintah manusia kepada kebaikan, tapi
melupakan diri sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur’an.’ Qatadah berkata,
“Dalam Taurat disebutkan, “Manusia menyuruh orang lain untuk mengingat-Ku,
tapi ia sendiri melupakan-Ku; ia menyeru orang lain untuk menyembah-Ku, tapi ia
sendiri lari dari-Ku. Sungguh ia telah sesat.”
Meski
demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa orang fasiq juga wajib melaksanakan
amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana diwajibkan kepada orang yang adil. Sebab
menurut mereka, ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbicara seputar kewajiban
ini bersifat umum, tidak membedakan antara orang yang adil dan orang yang
fasiq. Sebagian ulama salaf menafsirkan ayat, “Dan diantara manusia ada yang
mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah” (QS. Al-Baqarah [2]:
207) dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Nabi
S.A.W bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di
hadapan penguasa zalim.” Dalam hadits lain dikatakan, “Orang mati syahid yang
paling mulia di hari kiamat adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang
melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa yang zalim, lalu ia dibunuh
karenanya “.
Sungguh
tidak ada seorang pun yang bersih dari dosa, baik lahir maupun bathin. Jika
amar ma’ruf nahi munkar hanya diwajibkan bagi orang-orang taat, maka proses
amar ma’ruf nahi munkar akan sulit direalisasikan. Demikian pendapat mereka.
Yang
dimaksud dengan ma’ruf adalah segala sesuatu yang sejalan dengan Al-Qur’an,
Sunnah, dan akal sehat (logika). Sedangkan yang dimaksud dengan munkar adalah
segala hal yang bertentangan dengan semua itu. Kedua hal ini terbagi kepada dua
macam : yang jelas dan yang samar.
Ma’ruf
dan munkar yang jelas adalah yang dapat diketahui dengan mudah oleh semua
orang, baik oleh orang awam maupun ulama. Contoh, sesuatu ma’ruf adalah seperti
sholat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan
contoh sesuatu yang munkar adalah seperti zina, minum khamar, mencuri,
merampok, membunuh, dan sebagainya. Semua pihak, baik orang awam maupun ulama,
wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk bagian ini.
Adapun
ma’ruf yang samar hanya dapat diketahui oleh kalangan tertentu (seperti ulama),
misalnya seperti perkara-perkara yang boleh dan tidak boleh bagi Allah S.W.T. Dalam
hal ini, hanya orang khawwash saja yang berkewajiban mengingkarinya.
Sedangkan
untuk perkara-perkara yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para fuqaha dan
masuk dalam ruang lingkup ijtihad, misalnya tentang nikah tanpa wali yang
menurut madzhab Abu Hanifah adalah sah, maka orang yang mengikuti madzhab Ahmad
dan Syafi’I tidak boleh mengingkarinya. Sebab Imam Ahmad sendiri –sebagaimana dinukil
oleh Al-Maruzi—pernah berkata, “Tidak seharusnya seorang faqih memaksa orang
lain untuk mengikuti madzhabnya”. Dengan demikian, maka mencegah kemunkaran
hanya diarahkan kepada perkara-perkara yang keluar dari ijma’ ulama, bukan pada
perkara-perkara yang masih diperselisihkan.
Namun
ada riwayat lain dari Imam Ahmad yang mengindikasikan bolehnya mengingkari
perkara yang masih diperselisihkan hukumnya. Riwayat ini dinukil oleh
al-Maimuni tentang seorang lelaki yang melewati sekelompok orang yang sedang
bermain catur. Lalu orang tersebut melarang dan menasehati mereka untuk tidak
berbuat demikian. Padahal sebagaimana diketahui bahwa permainan ini dibolehkan
oleh ulama Syafi’iyah.
Demikian
artikel yang sumbernya 100% dari kitab yang sudah saya sebutkan pada artikel
sebelumnya. Semoga dapat menjadikan pemahaman bagi kita semua sebagai khasanah
ilmu, serta sebagai referensi untuk memahami makna amar ma’ruf nahi munkar,
serta jihad, berdasarkan hasil karya dari seorang Syekh, yang sangat-sangat
luar biasa peranannya dalam perihal agama serta sudah diakui oleh umat muslim
di seluruh dunia. Agar tidak dangkal dalam memahami perihal tersebut.
Akhir
kata, mengutip ucapan dari seorang habaib : “Agar sebaiknya segala perbedaan
yang terjadi di kalangan umat, disikapi dengan RAHMAT”.
Jangan
lupa senantiasa berdo’a kepada Allah S.W.T untuk membimbing kita semua ke jalan
yang lurus, serta perbanyaklah dzikir kepada Allah S.W.T, juga perbanyak bershalawat
kepada Nabi junjungan kita, Muhammad S.A.W.
Wassalamu’alaikum
Warohmatullahi Wabarokatuh…
Sumber :
Buku Kitab Terjemahan
: Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq ‘Azza wa Jalla (Bekal yang cukup
menuju Allah ‘Azza wa Jalla). Karya : Syekh ‘Abdul Qodir al-Jaelani.
Penerbit : PT. Sahara Intisains.
No comments:
Post a Comment